Diposting oleh
Unknown
Proses Morfofonemik dalam Bahasa Bali
Suatu morfem dapat berubah bentuknya sebagai akibat pertemuan morfem tersebut dengan morfem yang lain. Misalnya morfem {N-} apabila dibubuhkan pada morfem {gae}’kerja’, {jagur}’pukul’, {têgul}’ikat’, {paksê} sebagai bentuk dasarnya dabat menghasilkan bentuk ngae ‘mengerjakan’, nyagur ‘memukul’, negul ‘mengikat’, maksa ‘memaksa’. Dari bentukan itu, tampak bahwa morfem {N-} selalu berubah bentuk yang ditentukan oleh bunyi awal bentuk dasarnya. Dengan demikian, terjadilah perubahan bentuk morfem itu sekaligus menyangkut perubahan bunyi nasal karena morfem afiks tersebut diwujudkan hanya dari sebuah fonem.
Perubahan bentuk morfem dapat pula ditandai dengan hilangnya suatu bunyi atau fonem seperti pada proses morfologis. Perubahan morfem afiks {me-} pada bentuk dasar ileh menghasilkan bentuk turunan mileh ‘berkeliling’. Dalam hal itu, bentuk ma- yang diwujudkan dari dua satuan fonem /m, ê/ berubah bentuk menjadi m-. Perubahan itu ditandai dengan hilangnya fonem a/ê/ pada morfem {mê} sebagai akibat pertemuannya dengan morfem ileh.
Dalam proses yang lain, pembubuhan fonem {mê} pada morfem {-ajah} menghasilkan bentuk turunan malajah ‘belajar’. Jelaslah bahwa wujud morfem {ma-}yang terdiri dari dua fonem /m, ê/ setelah mengalami proses penggabungan morfem menjadi mal- yang terdiri dari tiga fonem /m, ê, l/. Dengan demikian terjadilah penambahan fonem /l/ pada bentuk ma- yang menghasilkan bentuk mal-.
Perubahan bentuk morfem yang ditandai dengan perubahan bunyi atau fenomena-fenomenanya membawa indikasi terbentuknya suatu varian anggota morfem atau alomorf. Dengan demikian, morfem {N-}, antara lain, memiliki alomorf /ng-, n-/. Morfem {mê-}, antara lain, memiliki alomorf mêl-.
Baik perubahan, penghilangan, maupun penambahan seperti tersebut di atas, dimaksudkan sebagai perubahan dalam arti yang luas. Dengan demikian, dapat dirumuskan secara singkat bahwa proses morfofonemik adalah proses perubahan bentuk morfem yang ditandai dengan perubahan, penghilangan dan penambahan fonem sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem yang lain.
A. Proses Perubahan Fonem
Dalam bahasa Bali ditemukan moerfem afiks nasal yang diabstraksikan dengan lambang N- {N-}. Wujud konkret atau realisasinya dalam proses pembentukan kata selalu berubahsesuai dengan fonem awal bentuk dasarnya. Perubahan fome, yang diakibatkan oleh pertemuan fonem tersebut dengan morfem lain menyebabkan terbentuknya alomorf, seperti ng- /ng-/, ny- /n-/, m- /m-/, dan nga- /nga-/. Kaidah-kaidah morfofonemisnya dapat diiktisarikan sebagai berikut.
(a) Morfem {N-} berubah menjadi /ng-/ sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan morfem lain atau bentuk dasar yang berawal dari fonem /k, g/ perubahan diikuti oleh luluhnya fonem awal bentuk dasar tersebut.
Misalnya:
{N-} + kandik ‘kapak’ → ngandik ‘mengapak’
{N-} + kutang ‘buang’ → ngutang ‘membuang’
{N-} + gulung ‘gulung → ngulung ‘menggulung’
Apabila bentuk dasarnya berawal dengan fonem vokal atau semi vokal, perubahan terssebut tidak diikuti dengan luluhnya fonem awal bentuk dasar.
Misalnya:
{N-} + idih ‘minta’ →ngidih ‘meminta’
{N-} + alih ‘cari’ → ngalih ‘mencari’
{N-} + empel ‘sumbat’→ ngempel ‘menyumbat’
{N-} + omong ‘bicara’ → ngomong ‘berbicara’
{N-} + uluh ‘telan’ → nguluh ‘menelan’
{N-} + wangun ‘bangun’ → ngwangun ‘membangun’
{N-} + yakti ‘benar’ → ngyaktiang ‘membenarkan’
Apabila bentuk dasarnya berawal dengan nasal maka perubahan tersebut diikuti dengan penambahan /ê/ sehingga terjadilah perubahan bentuk morfem {N-} menjadi nga- /ngê/. Proses ini tidak diikuti dengan luluhnya fonem awal bentuk dasar.
Misalnya:
{N-} + nyangluh ‘lesat’ → nganyangluhang ‘melezatkan’
{N-} + nengneng ‘lihat terus menerus’ → nganengneng ‘melihat dengan terus menerus’
{N-} + maling ‘curi’→ ngamaling ‘mencuri’
(b) Morfem {N-} berubah menjadi /{N-}/ sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /j, c, s/. Perubahan itu diikuti dengan luluhnya fonem awal bentuk dasar tersebut.
Misalnya:
{N-} + cicil ‘cicil’ → nyicil ‘menyicil’
{N-} + jagur ‘pukul’ → nyagur ‘memukul’
{N-} + sinduk ‘sendok’ → nyinduk ‘menyendok’
(c) Morfem {N-} berubah menjadi /{N-}/ sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /d, t/. Perubahan itu diikuti dengan luluhnya fonem awal bentuk dasar tersebut.
Misalnya:
{N-} + tegul ‘ikat’→ negul ‘mengikat’
{N-} + tegen ‘pikul’→ negen ‘memikul
{N-} + dandan ‘tuntun’ → nandan ‘menuntun’
{N-} + duduk ‘pungut’ → nuduk ‘memungut’
(d)Morfem {N-} berubah menjadi /m-/ sebagai akibat pertemuan {N-} dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /p, b/. Perubahan itu diikuti oleh luluhnya fonem awal bentuk dasar tersebut.
Misalnya:
{N-} + pelut ‘kupas’→ melut ‘mengupas’
{N-} + belek ‘lembek’ → melekang ‘melembekkan’
Dalam bahasa Bali juga terdapat perubahan bunyi lain, disamping perubahan bunyi nasal yang seperti disebutkan di atas. Perubahan bunyi yang di{Ma-}ksud adalah perubahan bunyi atau fonem sebagai perwujudan harmonisasi dua fonem dari dua morfem yang berbeda→bersenyawa menjadi satu fonem. Perubahan tersebut sifatnya agak khusus, meliputi (a) fonem /a, u/ menjadi /o/ dan (b) fonem /a, i/ menjadi /e/.
(a) Perubahan fonem /a, u/ menjadi fonem /o/ sebagai akibat pertemuan morfem {Ka-} {kê-}, {Pa-} {pê-}, {Ma-}- {mê-}, {Sa-} {sê-} dengan morfem dasar tertentu yang diawali dengan fonem /u/.
Misalnya:
{Ma-}- + ulih ‘...’ → molih ‘menang, mendapatkan hasil’
{Ka-} + utama ‘utama’ → kotama ‘keutamaan’
{Pa-} + umah ‘rumah’ → pomahan ‘peru{Ma-}han’
{Sa-} + upacara ‘upacara’ → sopacara /sopêcara/ ‘segala jenis upacara’
Sesungguhnya bahasa Bali lumrah (umum) tidak memiliki distribusi fonem /a/ pada posisi akhir, yang ada adalah fonem /ê/. Apabila fonem /ê/ pada posisi akhir itu dilekati atau diikuti oleh bentuk lain, terjadilah proses perubahan identitas fonem dari /ê/ menjadi /a/. Perubahan ini termasuk netralisasi dalam ruang lingkup proses morfofonemik. Proses ini umumnya terjadi pada kata (dasar), bukan pada morfem (afiks) seperti yang dibahas pada bagian ini. Akan tetapi, karena sifat perilaku fonem /ê/ seperti itu, proses perubahan harmonisasi fonem /o/ seperti di atas didahului dengan perubahan morfem /ê/ menjadi /a/. Secara diakronis perubahan seperti itu cenderung menunjukan ciri kekunoannya. Demikian juga penjelasan tentang perubahan harmonisasi fonem /e/.
(b) Perubahan fonem /a, u/ menjadi /o/ sebagai akibat pertemuan morfem {-an} dengan bentuk dasar yang berakhir fonem /u/.
Misalnya:
{-an} + gugu ‘percaya’ → gugon(in) ‘dipercaya’
{-an} + pupu ‘hasil’ → pupon(in) ‘hasili’
{-an} + temu ‘temu’ → temon(-temon) ‘kenangan, temuan’
(c) Perubahan fonem /a, i/ menjadi /e/ sebagai akibat pertemuan morfem {Ka-} {kê} dengan bentuk dasar yang berakhir fonem /i/.
Misalnya:
{Ka-} + ilang ‘hilang’ → kelangan ‘kehilangan’
{Ka-} + idep ‘pikiran’ → kedepan ‘pintar’
(d)Perubahan fonem /a, i/ menjadi /e/ sebagai akibat pertemuan morfem {-an} dengan bentuk dasar yang diakhiri fonem /i/.
Misalnya:
{-an} + taji ‘taji’ → tajen ‘adu ayam dengan taji, sabungan’
{-an} + wangi ‘harum’ → kawangen ‘gabungan bunga harum untuk sembahyang’
Satu lagi perubahan fonem yang ditemukan dalam bahasa Bali, selain perubahan yang telah disebutkan tadi di atas, adalah perubahan fonem yang disebut netralisasi. Netralisasi terjadi akibat pertemuan suatu morfem dengan morfem yang lain. Perubahan ini menyangkut perubahan fonem /ê/ pada posisi akhir morfem dasar menjadi /a/. Hal itu terjadi apabila morfem dasar dibubuhi morfem sufiks. Hasil perubahan ini secara fonetis umumnya ditandai dengan huruf kapital A yang disebut arkhifonem. Pada kesempatan ini tetap ditulis a dengan pertimbangan seperti uraian di depan.
Misalnya:
{-a} + aba /abê/ ‘bawa’ → abana ‘dibawanya’
{-an} + kaja /kajê/ ‘utara’ → kajanan ‘di utara’
{-ang} + teka /têkê/ ‘datang’ → tekaang ‘datangkan’
{-in} + cêlana /celanê/ ‘celana’ → celanain ‘kenakan celana’
{-ing} + kala /kalê/ ‘waktu’ → kalaning ‘pada waktu’
{-e} + bapa /bapê/ ‘bapa’ → bapane ‘bapa ini’
{-ne} + li{Ma-} /limê/ ‘tangan’ → li{Ma-}nne ‘tangannya'
Sebagai gejala perubahan bunyi, masalah seperti itu telah didinggung pada bagian fonologi, khususnya mengenai netralisasi. Akan tetapi, sebagai perubahan bunyi yang diakibatkan oleh penggabungan atau pertemuan forfem satu dengan morfem yang lainnya, masalah tersebut tidak terlepas dari proses morfofonemik. Oleh karena itu, masalah tersebut dibicarakan kembali, tetapi dalam porsi yang lain.
B. Proses Penghilangan Fonem
Pembubuhan morfem nasal terhadap bentuk dasar yang berawal dari fonem konsonan, baik bersuara maupun tak bersuara (tidak termasuk semivokal, nasal) diikuti dengan luluhnya atau hilangnya fonem konsonan tersebut. Proses peluluhan fonem itu sesuai dengan keanggotaan fonem nasal. masalah ini telah disinggung di atas, yang melihat proses perubahan nasal yang terjadi pada morfem afiks {N-} itu sendiri. Pada bagian ini morfofonemisnya dilihat dari meluluhnya atau hilangnya fonem awal yang terjadi pada bentuk dasarnya, bukan pada morfem imbuhannya. Jadi, dapatlah dibuatkan (rumusan) kaidahnya sebagai berikut.
(a) Fonem /k, g/ yang mengawali bentuk dasar hilang, diluluhkan oleh fonem /ng/, sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasarnya.
(b) Fonem /c, j, s/ yang mengawali bentik dasar hilang, di luluh kan oleh fonem //, sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasarnya.
(c) Fonem /t, d/ yang mengawali bentik dasar hilang, di luluh kan oleh fonem /n/, sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasarnya.
(d)Fonem /p, b/ yang mengawali bentik dasar hilang, di luluh kan oleh fonem /m/, sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasarnya.
Pembubuhan morfem sufiks –a, {-ang}, {-in}, an, {-e} terhadap bentuk dasar yang berakhir dengan fonem /h/ pada posisi akhir itu kurang dominan. Misalnya, apabila bentuk dasarnya dibubuhi sufiks, fonem /h/ pada posisi akhir itu hilang dan peranannya digantikan dengan fonem vokal yang ada di depannya. Proses selanjutnya mengikuti kaidah morfofonemik menurut kaidah fonem vokal akhir bentuk dasarnya, terutama apabila fonem tersebut /i, e/ atau /a, u/, maka berlaku kaidah penambahan fonem /y/ atau /w/ pada posisi akhir bentuk dasarnya.
{-a} + umah ‘rumah’ → umaha /umahê/ ‘rumah itu’
{-in} + alih ‘cari’ → alihin /aliin/ ‘cari’
{-ang} + idih ‘minta’ → idihang /idiyang/ ‘mintakkan’
{-an} + teteh ‘pintar’ →matetehan matêtêyan/ ‘berlagak pintar’
{-in} + loloh ‘jamu’ → lolohin /lolowin/ ‘beri (minum) jamu’
{-ang} + tuyuh ‘payah’ → tuyuhang /tuyuwang/ ‘direpotkan’
{-an} + kauh ‘barat’ → kauhan /kauwan/ kawan, kawanan ‘sebelah barat’
Bentuk terakhir memiliki variasi bentuk kawan dan kawanan. Variasi bentuk pertama dapat terjadi karena fonem /u/ menjadi kurang dominan apabila diikuti oelh fonem /w/. Akibatnya, fonem /u/ pada posisi seperti itu cenderung (me)lesap. Variasi bentuk yang kedua terjadi lagi penambahan bentuk –an terhadap bentuk kawan yang dijadikan bentuk dasar. Hal itu tampak mubazir.
Proses penghilangan fonem seperti tersebut diatas terjadi pada bentuk dasar. Proses penghilangan fonem sebagai akibat proses morfofonemik dapat juga terjadi pada forfem afiks seperti ma- {mê}, ka {kê}, dan sa {sê}. Penghilangan fonem a / ê/ pada bentuk-bentuk tersebut akibat pertemuannya dengan bentuk dasar yang beraawal vokal. Proses itu dapat dilihat dalam ikhtiar brikut.
(a) Proses penghilangan fonem /ê/ pada morfem {Ma-}- {mê}, sebagai akibat pembubuhan atau pertemuan morfem tersebut. Dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem vokal /i, e, a, ê, o, u/.
Misalnya:
{Ma-}- + ileh → milehan ‘berkeliling’
{Ma-}- + angkih → mangkihan ‘beranfas’
{Ma-}- + entas → mentas ‘lewat, lalui’
{Ma-}-+ obah ‘ubah’ → mobah ‘mengubah’
{Ma-}- + udeng ‘destar’ → mudeng ‘memakai destar’
(b) Proses penghilangan fonem /ê/ pada morfem {Ka-} {kê}, sebagai akibat pertemuan morfem tersebut dengan bentuk-bentuk dasar yang berawal dengan fonem-fonem /i, e, a, ê, o, u/.
Misalnya:
{Ka-} + idup ‘hidup’ → kidupang ‘dihidupkan’
{Ka-} + endah → kendahang ‘dipermainnkan’
{Ka-} + adeng ‘pelan’ → kadengang ‘dipelankan’
{Ka-} + empel ‘bendung’ → kempel ‘dibendung’
{Ka-} + onya ‘habis’ → konyang ‘dihabiskan’
{Ka-} + uluh ‘telan’ → kuluh ‘ditelan’
(c) Proses penghilangan fonem /ê/ pada morfem {Pa-} {pê}, sebagai akibat pertemuan morfem tersebut dengan morfem dasar yang berawal dengan fonem vokal /i, e, a, ê, o, u/.
Misalnya:
{Pa-} + ileh → pileh ‘urutan’
{Pa-} + enggal ‘cepat’ → penggalin ‘percepat’
{Pa-} + unuh → punuh ‘orang yang memetik padi’
(d)Pada proses penghilangan fonem /ê/ pada morfem {Sa-} {sê}, sebagai akibat pertemuan morfem tersebut dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem vokal /a/.
Misalnya:
{Sa-} + antuk ‘karena’ → santukan ‘karena itu’
Proses morfofonemis ini jarang ditemukan dalam bahasa Bali, bahkan sampai saat ini hanya ditemukan seperti pada contoh di atas.
C. Proses Penambahan Fonem
Proses penambahan fonem dapat terjadi pada penggabungan atau pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem nasal /n, n, m/. Penambahan fonem /ê/ pada /ng/ sebagai perwujudan konkrit atau realisasi morfem {N-} sehingga menghasilkan alomorf nga- /ngê/.
Pertemuan morfem imbuhan sufiks dengan bentuk dasar yang diakhiri dengan fonem vokal acapkali diikuti dengan penambahan fonem /n/ mengawali morfem sufiks tersebut. Sebagai fonem yang muncul akibat proses morfofonemik, fonem /n/ disebut juga morfofonem. Dengan morfofonem seperti itu, suatu morfem sufiks bahasa Bali memiliki alomorf yang dapat diikhtisarkan sebagai berikut
{-a} memiliki alomorf -na
{-an} memiliki alomorf -nan
{-ang} memiliki alomorf -nang
{-in} memiliki alomorf -nin
{-ing} memiliki alomorf -ning
{-e} memiliki alomorf{-ne}
{-ne} memiliki alomorf -nne
Berikut ini dapat dilihat kaidah morfofonemiknya.
(a) Penambahan fonem /n/ pada morfem –a {-ê} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang diakhiri dengan vokal /i, e, ê, u, o/.
Misalnya:
{-a} + adi ‘adik’ → adina /adinê/ ‘adik itu’
{-a} + meme ‘ibu’→ memena /memenê/ ‘ibunya’
{-a} + bapa /bapê/ ‘ayah’ → bapana /bapanê/ ‘ayahnya’
(b) Penambahan fonem /n/ pada morfem {-an} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhi pada bentuk dasar yang berakhir dengan vokal /i, e, u/.
Misalnya:
{-an} + duri ‘belakang’ → durinan ‘belakangan’
{-an} + liu ‘banyak’ → liunan ‘kebanyakan’
(c) Penambahan fonem /n/ pada morfem {-ang} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang diakhiri dengan vokal /i, e, ê /.
Misalnya:
{-ang} + mai ‘sini’ → mainang ‘kesinikan’
{-ang} + gae ‘buat’ → gaenang ‘buatkan’
{-ang} + kaja ‘utara’ → kajanang ‘ke utarakan’
(d)Penambahan fonem /n/ pada morfem {-in} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang diakhiri dengan vokal /i, e, ê, u /.
Misalnya:
{-in} + isi ‘isi’ → isinin ‘diisi’
{-in} + gae ‘kerja’ → gaenin ‘kerjakan’
{-in} + bea ‘biaya’ → beanin ‘biayai’
{-in} + bucu ‘sudut’ → bucunin ‘dibentuk seperti sudut’
(e) Penambahan fonem /n/ pada morfem {-ing} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang diakhiri dengan vokal /i, ê, o/.
Misalnya:
{-ing} + jawi ‘luar’ → sajawaning ‘selain’
{-ing} + jero ‘dalam’ → sajeroning ‘dalam lingkungan, masa’
{-ing} + kala ‘waktu’ → kalaning ‘pada waktu’
(f) Penambahan fonem /n/ pada morfem {-e} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang berakhir dengan vokal /i, e, ê, o, u/.
Misalnya:
{-e} + sampi ‘sapi’ → sampine ‘sapi itu’
{-e} + sate ‘satai’ → satene ‘satai itu’
{-e} + orta ‘berita’ → ortane ‘berita itu’
{-e} + sabo ‘sawo’ → sabone ‘sawo itu’
{-e} + sau ‘jala bertangkai’ → saune ‘jala bertangkai itu’
(g) Penambahan fonem /n/ pada morfem {-ne} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang diakhiri dengan vokal /i, e, ê, o, u/.
Misalnya:
{-ne} + bibi ‘bibi’ → bibine ‘bibinya’
{-ne} + meme ‘ibu’ → memenne ‘ibunya’
{-ne} + bapa ‘ayah’ → bapanne ‘ayahnya’
Pemunculan fonem /n/ dalam lingkungan proses morfofonemik (sufiksasi) cukup luas seperti tersebut diatas. Diasmping itu juga, munculnya fonem [y, w] sebagai akibat pertemuan suatu morfem yang lain. Proses pemunculan atau penambahan seperti itu dapat diikhtisarkan sebagai berikut.
(a) Penambahan fonem [y] pada morfem {-ang} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang berakhir dengan vokal /i, ê/.
Misalnya:
{-ang} + sepi ‘sepi’ → sepiang /sepiyang/ ‘sepikan’
{-ang} + rasa ‘rasa’ → rasaang /rasayang/ ‘rasakan’
{-ang} + satua ‘cerita’ → satuang /satuwayang/ ‘ceritakan’
Pada contoh di atas, fonem [y] mendapat tekanan yang cukup kuat, berbeda dengan proses morfofonemik seperti berikut yang bentuk dasarnya berakhir dengan fonem /i, e/.
{-ang} + gisi ‘pegang’ → gisiang /gisiyang/ ‘pegang’
{-ang} + kene ‘begini’ → keneang /keneyang/ ‘beginikan’
{-ang} + gede ‘besar’ → gedeang /gedeyang/ ‘besarkan’
Pada bentuk {Pi-} juga dapat terjadi penambahan bunyi [y] apabila morfem itu dibubuhkan pada bentuk dasar yang berawal dengan fonem vokal /a, o, u/.
Misalnya:
{Pi-} + anak ‘anak’ → pianak /piyanak/ ‘anak’
{Pi-} + uning ‘tahu’ → piuning /piyuning/ ‘pemberitahuan’
(b) Pembubuhan bunyi [w] pada morfem {-an}, {-ang}, {-in} terjadi apabila morfem-morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang berakhir dengan fonem /u, o/.
Misalnya:
{-an} + adu ‘adu’ → aduang /aduwang/ ‘adukan’
{-an} + adu ‘adu’ → aduan /aduwan/ ‘aduan’
{-an} + keto ‘begitu’ → ketoang /ketowang/ ‘begitukan’
{-an} + milu ‘ikut’ → miluin /miluwin/ ‘ikuti’
{-an} + milu ‘ikut’ → miluang /miluwang/ ‘ikutkan’
Pertemuan suatu morfem dengan morferm lain dapat pula menimbulkan penambahan fonem yang tidak sesuai dengan bunyi-bunyi lingkungannya (disimilasi). Fonem-fonem yang muncul adalah /k, t, l/. Pemunculan fonem tersebut dapat dilihat seperti dalam proses morfofonemik berikut.
{Pa-} + aba ‘bawa’ → pakabain ‘bawain’
{Pa-} + eling ‘ingat’ → pakeling ‘peringatan’
{Pa-} + olih ‘...’ → pikolih ‘hasil’
{Pa-} + ajah ‘ajar’ → pelajahan ‘pelajaran’
{Pa-} + inget ‘ingat’ → patinget ‘peringati’
Proses morfofonemik seperti itu, yaitu dengan memunculkan fonem-fonem yang tidak sesuai dengan lingkungan fonologisnya, terdapat sebagai akibat pertemuan morfem afiks dengan morfem dasar tertentu, seperti tampak pada contoh di atas.
Category:
Bahasa Bali
0
komentar
Selasa, 25 Desember 2012
PROSES MORFOFONEMIK BAHASA BALI
Proses Morfofonemik dalam Bahasa Bali
Suatu morfem dapat berubah bentuknya sebagai akibat pertemuan morfem tersebut dengan morfem yang lain. Misalnya morfem {N-} apabila dibubuhkan pada morfem {gae}’kerja’, {jagur}’pukul’, {têgul}’ikat’, {paksê} sebagai bentuk dasarnya dabat menghasilkan bentuk ngae ‘mengerjakan’, nyagur ‘memukul’, negul ‘mengikat’, maksa ‘memaksa’. Dari bentukan itu, tampak bahwa morfem {N-} selalu berubah bentuk yang ditentukan oleh bunyi awal bentuk dasarnya. Dengan demikian, terjadilah perubahan bentuk morfem itu sekaligus menyangkut perubahan bunyi nasal karena morfem afiks tersebut diwujudkan hanya dari sebuah fonem.
Perubahan bentuk morfem dapat pula ditandai dengan hilangnya suatu bunyi atau fonem seperti pada proses morfologis. Perubahan morfem afiks {me-} pada bentuk dasar ileh menghasilkan bentuk turunan mileh ‘berkeliling’. Dalam hal itu, bentuk ma- yang diwujudkan dari dua satuan fonem /m, ê/ berubah bentuk menjadi m-. Perubahan itu ditandai dengan hilangnya fonem a/ê/ pada morfem {mê} sebagai akibat pertemuannya dengan morfem ileh.
Dalam proses yang lain, pembubuhan fonem {mê} pada morfem {-ajah} menghasilkan bentuk turunan malajah ‘belajar’. Jelaslah bahwa wujud morfem {ma-}yang terdiri dari dua fonem /m, ê/ setelah mengalami proses penggabungan morfem menjadi mal- yang terdiri dari tiga fonem /m, ê, l/. Dengan demikian terjadilah penambahan fonem /l/ pada bentuk ma- yang menghasilkan bentuk mal-.
Perubahan bentuk morfem yang ditandai dengan perubahan bunyi atau fenomena-fenomenanya membawa indikasi terbentuknya suatu varian anggota morfem atau alomorf. Dengan demikian, morfem {N-}, antara lain, memiliki alomorf /ng-, n-/. Morfem {mê-}, antara lain, memiliki alomorf mêl-.
Baik perubahan, penghilangan, maupun penambahan seperti tersebut di atas, dimaksudkan sebagai perubahan dalam arti yang luas. Dengan demikian, dapat dirumuskan secara singkat bahwa proses morfofonemik adalah proses perubahan bentuk morfem yang ditandai dengan perubahan, penghilangan dan penambahan fonem sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem yang lain.
A. Proses Perubahan Fonem
Dalam bahasa Bali ditemukan moerfem afiks nasal yang diabstraksikan dengan lambang N- {N-}. Wujud konkret atau realisasinya dalam proses pembentukan kata selalu berubahsesuai dengan fonem awal bentuk dasarnya. Perubahan fome, yang diakibatkan oleh pertemuan fonem tersebut dengan morfem lain menyebabkan terbentuknya alomorf, seperti ng- /ng-/, ny- /n-/, m- /m-/, dan nga- /nga-/. Kaidah-kaidah morfofonemisnya dapat diiktisarikan sebagai berikut.
(a) Morfem {N-} berubah menjadi /ng-/ sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan morfem lain atau bentuk dasar yang berawal dari fonem /k, g/ perubahan diikuti oleh luluhnya fonem awal bentuk dasar tersebut.
Misalnya:
{N-} + kandik ‘kapak’ → ngandik ‘mengapak’
{N-} + kutang ‘buang’ → ngutang ‘membuang’
{N-} + gulung ‘gulung → ngulung ‘menggulung’
Apabila bentuk dasarnya berawal dengan fonem vokal atau semi vokal, perubahan terssebut tidak diikuti dengan luluhnya fonem awal bentuk dasar.
Misalnya:
{N-} + idih ‘minta’ →ngidih ‘meminta’
{N-} + alih ‘cari’ → ngalih ‘mencari’
{N-} + empel ‘sumbat’→ ngempel ‘menyumbat’
{N-} + omong ‘bicara’ → ngomong ‘berbicara’
{N-} + uluh ‘telan’ → nguluh ‘menelan’
{N-} + wangun ‘bangun’ → ngwangun ‘membangun’
{N-} + yakti ‘benar’ → ngyaktiang ‘membenarkan’
Apabila bentuk dasarnya berawal dengan nasal maka perubahan tersebut diikuti dengan penambahan /ê/ sehingga terjadilah perubahan bentuk morfem {N-} menjadi nga- /ngê/. Proses ini tidak diikuti dengan luluhnya fonem awal bentuk dasar.
Misalnya:
{N-} + nyangluh ‘lesat’ → nganyangluhang ‘melezatkan’
{N-} + nengneng ‘lihat terus menerus’ → nganengneng ‘melihat dengan terus menerus’
{N-} + maling ‘curi’→ ngamaling ‘mencuri’
(b) Morfem {N-} berubah menjadi /{N-}/ sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /j, c, s/. Perubahan itu diikuti dengan luluhnya fonem awal bentuk dasar tersebut.
Misalnya:
{N-} + cicil ‘cicil’ → nyicil ‘menyicil’
{N-} + jagur ‘pukul’ → nyagur ‘memukul’
{N-} + sinduk ‘sendok’ → nyinduk ‘menyendok’
(c) Morfem {N-} berubah menjadi /{N-}/ sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /d, t/. Perubahan itu diikuti dengan luluhnya fonem awal bentuk dasar tersebut.
Misalnya:
{N-} + tegul ‘ikat’→ negul ‘mengikat’
{N-} + tegen ‘pikul’→ negen ‘memikul
{N-} + dandan ‘tuntun’ → nandan ‘menuntun’
{N-} + duduk ‘pungut’ → nuduk ‘memungut’
(d)Morfem {N-} berubah menjadi /m-/ sebagai akibat pertemuan {N-} dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /p, b/. Perubahan itu diikuti oleh luluhnya fonem awal bentuk dasar tersebut.
Misalnya:
{N-} + pelut ‘kupas’→ melut ‘mengupas’
{N-} + belek ‘lembek’ → melekang ‘melembekkan’
Dalam bahasa Bali juga terdapat perubahan bunyi lain, disamping perubahan bunyi nasal yang seperti disebutkan di atas. Perubahan bunyi yang di{Ma-}ksud adalah perubahan bunyi atau fonem sebagai perwujudan harmonisasi dua fonem dari dua morfem yang berbeda→bersenyawa menjadi satu fonem. Perubahan tersebut sifatnya agak khusus, meliputi (a) fonem /a, u/ menjadi /o/ dan (b) fonem /a, i/ menjadi /e/.
(a) Perubahan fonem /a, u/ menjadi fonem /o/ sebagai akibat pertemuan morfem {Ka-} {kê-}, {Pa-} {pê-}, {Ma-}- {mê-}, {Sa-} {sê-} dengan morfem dasar tertentu yang diawali dengan fonem /u/.
Misalnya:
{Ma-}- + ulih ‘...’ → molih ‘menang, mendapatkan hasil’
{Ka-} + utama ‘utama’ → kotama ‘keutamaan’
{Pa-} + umah ‘rumah’ → pomahan ‘peru{Ma-}han’
{Sa-} + upacara ‘upacara’ → sopacara /sopêcara/ ‘segala jenis upacara’
Sesungguhnya bahasa Bali lumrah (umum) tidak memiliki distribusi fonem /a/ pada posisi akhir, yang ada adalah fonem /ê/. Apabila fonem /ê/ pada posisi akhir itu dilekati atau diikuti oleh bentuk lain, terjadilah proses perubahan identitas fonem dari /ê/ menjadi /a/. Perubahan ini termasuk netralisasi dalam ruang lingkup proses morfofonemik. Proses ini umumnya terjadi pada kata (dasar), bukan pada morfem (afiks) seperti yang dibahas pada bagian ini. Akan tetapi, karena sifat perilaku fonem /ê/ seperti itu, proses perubahan harmonisasi fonem /o/ seperti di atas didahului dengan perubahan morfem /ê/ menjadi /a/. Secara diakronis perubahan seperti itu cenderung menunjukan ciri kekunoannya. Demikian juga penjelasan tentang perubahan harmonisasi fonem /e/.
(b) Perubahan fonem /a, u/ menjadi /o/ sebagai akibat pertemuan morfem {-an} dengan bentuk dasar yang berakhir fonem /u/.
Misalnya:
{-an} + gugu ‘percaya’ → gugon(in) ‘dipercaya’
{-an} + pupu ‘hasil’ → pupon(in) ‘hasili’
{-an} + temu ‘temu’ → temon(-temon) ‘kenangan, temuan’
(c) Perubahan fonem /a, i/ menjadi /e/ sebagai akibat pertemuan morfem {Ka-} {kê} dengan bentuk dasar yang berakhir fonem /i/.
Misalnya:
{Ka-} + ilang ‘hilang’ → kelangan ‘kehilangan’
{Ka-} + idep ‘pikiran’ → kedepan ‘pintar’
(d)Perubahan fonem /a, i/ menjadi /e/ sebagai akibat pertemuan morfem {-an} dengan bentuk dasar yang diakhiri fonem /i/.
Misalnya:
{-an} + taji ‘taji’ → tajen ‘adu ayam dengan taji, sabungan’
{-an} + wangi ‘harum’ → kawangen ‘gabungan bunga harum untuk sembahyang’
Satu lagi perubahan fonem yang ditemukan dalam bahasa Bali, selain perubahan yang telah disebutkan tadi di atas, adalah perubahan fonem yang disebut netralisasi. Netralisasi terjadi akibat pertemuan suatu morfem dengan morfem yang lain. Perubahan ini menyangkut perubahan fonem /ê/ pada posisi akhir morfem dasar menjadi /a/. Hal itu terjadi apabila morfem dasar dibubuhi morfem sufiks. Hasil perubahan ini secara fonetis umumnya ditandai dengan huruf kapital A yang disebut arkhifonem. Pada kesempatan ini tetap ditulis a dengan pertimbangan seperti uraian di depan.
Misalnya:
{-a} + aba /abê/ ‘bawa’ → abana ‘dibawanya’
{-an} + kaja /kajê/ ‘utara’ → kajanan ‘di utara’
{-ang} + teka /têkê/ ‘datang’ → tekaang ‘datangkan’
{-in} + cêlana /celanê/ ‘celana’ → celanain ‘kenakan celana’
{-ing} + kala /kalê/ ‘waktu’ → kalaning ‘pada waktu’
{-e} + bapa /bapê/ ‘bapa’ → bapane ‘bapa ini’
{-ne} + li{Ma-} /limê/ ‘tangan’ → li{Ma-}nne ‘tangannya'
Sebagai gejala perubahan bunyi, masalah seperti itu telah didinggung pada bagian fonologi, khususnya mengenai netralisasi. Akan tetapi, sebagai perubahan bunyi yang diakibatkan oleh penggabungan atau pertemuan forfem satu dengan morfem yang lainnya, masalah tersebut tidak terlepas dari proses morfofonemik. Oleh karena itu, masalah tersebut dibicarakan kembali, tetapi dalam porsi yang lain.
B. Proses Penghilangan Fonem
Pembubuhan morfem nasal terhadap bentuk dasar yang berawal dari fonem konsonan, baik bersuara maupun tak bersuara (tidak termasuk semivokal, nasal) diikuti dengan luluhnya atau hilangnya fonem konsonan tersebut. Proses peluluhan fonem itu sesuai dengan keanggotaan fonem nasal. masalah ini telah disinggung di atas, yang melihat proses perubahan nasal yang terjadi pada morfem afiks {N-} itu sendiri. Pada bagian ini morfofonemisnya dilihat dari meluluhnya atau hilangnya fonem awal yang terjadi pada bentuk dasarnya, bukan pada morfem imbuhannya. Jadi, dapatlah dibuatkan (rumusan) kaidahnya sebagai berikut.
(a) Fonem /k, g/ yang mengawali bentuk dasar hilang, diluluhkan oleh fonem /ng/, sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasarnya.
(b) Fonem /c, j, s/ yang mengawali bentik dasar hilang, di luluh kan oleh fonem //, sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasarnya.
(c) Fonem /t, d/ yang mengawali bentik dasar hilang, di luluh kan oleh fonem /n/, sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasarnya.
(d)Fonem /p, b/ yang mengawali bentik dasar hilang, di luluh kan oleh fonem /m/, sebagai akibat pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasarnya.
Pembubuhan morfem sufiks –a, {-ang}, {-in}, an, {-e} terhadap bentuk dasar yang berakhir dengan fonem /h/ pada posisi akhir itu kurang dominan. Misalnya, apabila bentuk dasarnya dibubuhi sufiks, fonem /h/ pada posisi akhir itu hilang dan peranannya digantikan dengan fonem vokal yang ada di depannya. Proses selanjutnya mengikuti kaidah morfofonemik menurut kaidah fonem vokal akhir bentuk dasarnya, terutama apabila fonem tersebut /i, e/ atau /a, u/, maka berlaku kaidah penambahan fonem /y/ atau /w/ pada posisi akhir bentuk dasarnya.
{-a} + umah ‘rumah’ → umaha /umahê/ ‘rumah itu’
{-in} + alih ‘cari’ → alihin /aliin/ ‘cari’
{-ang} + idih ‘minta’ → idihang /idiyang/ ‘mintakkan’
{-an} + teteh ‘pintar’ →matetehan matêtêyan/ ‘berlagak pintar’
{-in} + loloh ‘jamu’ → lolohin /lolowin/ ‘beri (minum) jamu’
{-ang} + tuyuh ‘payah’ → tuyuhang /tuyuwang/ ‘direpotkan’
{-an} + kauh ‘barat’ → kauhan /kauwan/ kawan, kawanan ‘sebelah barat’
Bentuk terakhir memiliki variasi bentuk kawan dan kawanan. Variasi bentuk pertama dapat terjadi karena fonem /u/ menjadi kurang dominan apabila diikuti oelh fonem /w/. Akibatnya, fonem /u/ pada posisi seperti itu cenderung (me)lesap. Variasi bentuk yang kedua terjadi lagi penambahan bentuk –an terhadap bentuk kawan yang dijadikan bentuk dasar. Hal itu tampak mubazir.
Proses penghilangan fonem seperti tersebut diatas terjadi pada bentuk dasar. Proses penghilangan fonem sebagai akibat proses morfofonemik dapat juga terjadi pada forfem afiks seperti ma- {mê}, ka {kê}, dan sa {sê}. Penghilangan fonem a / ê/ pada bentuk-bentuk tersebut akibat pertemuannya dengan bentuk dasar yang beraawal vokal. Proses itu dapat dilihat dalam ikhtiar brikut.
(a) Proses penghilangan fonem /ê/ pada morfem {Ma-}- {mê}, sebagai akibat pembubuhan atau pertemuan morfem tersebut. Dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem vokal /i, e, a, ê, o, u/.
Misalnya:
{Ma-}- + ileh → milehan ‘berkeliling’
{Ma-}- + angkih → mangkihan ‘beranfas’
{Ma-}- + entas → mentas ‘lewat, lalui’
{Ma-}-+ obah ‘ubah’ → mobah ‘mengubah’
{Ma-}- + udeng ‘destar’ → mudeng ‘memakai destar’
(b) Proses penghilangan fonem /ê/ pada morfem {Ka-} {kê}, sebagai akibat pertemuan morfem tersebut dengan bentuk-bentuk dasar yang berawal dengan fonem-fonem /i, e, a, ê, o, u/.
Misalnya:
{Ka-} + idup ‘hidup’ → kidupang ‘dihidupkan’
{Ka-} + endah → kendahang ‘dipermainnkan’
{Ka-} + adeng ‘pelan’ → kadengang ‘dipelankan’
{Ka-} + empel ‘bendung’ → kempel ‘dibendung’
{Ka-} + onya ‘habis’ → konyang ‘dihabiskan’
{Ka-} + uluh ‘telan’ → kuluh ‘ditelan’
(c) Proses penghilangan fonem /ê/ pada morfem {Pa-} {pê}, sebagai akibat pertemuan morfem tersebut dengan morfem dasar yang berawal dengan fonem vokal /i, e, a, ê, o, u/.
Misalnya:
{Pa-} + ileh → pileh ‘urutan’
{Pa-} + enggal ‘cepat’ → penggalin ‘percepat’
{Pa-} + unuh → punuh ‘orang yang memetik padi’
(d)Pada proses penghilangan fonem /ê/ pada morfem {Sa-} {sê}, sebagai akibat pertemuan morfem tersebut dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem vokal /a/.
Misalnya:
{Sa-} + antuk ‘karena’ → santukan ‘karena itu’
Proses morfofonemis ini jarang ditemukan dalam bahasa Bali, bahkan sampai saat ini hanya ditemukan seperti pada contoh di atas.
C. Proses Penambahan Fonem
Proses penambahan fonem dapat terjadi pada penggabungan atau pertemuan morfem {N-} dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem nasal /n, n, m/. Penambahan fonem /ê/ pada /ng/ sebagai perwujudan konkrit atau realisasi morfem {N-} sehingga menghasilkan alomorf nga- /ngê/.
Pertemuan morfem imbuhan sufiks dengan bentuk dasar yang diakhiri dengan fonem vokal acapkali diikuti dengan penambahan fonem /n/ mengawali morfem sufiks tersebut. Sebagai fonem yang muncul akibat proses morfofonemik, fonem /n/ disebut juga morfofonem. Dengan morfofonem seperti itu, suatu morfem sufiks bahasa Bali memiliki alomorf yang dapat diikhtisarkan sebagai berikut
{-a} memiliki alomorf -na
{-an} memiliki alomorf -nan
{-ang} memiliki alomorf -nang
{-in} memiliki alomorf -nin
{-ing} memiliki alomorf -ning
{-e} memiliki alomorf{-ne}
{-ne} memiliki alomorf -nne
Berikut ini dapat dilihat kaidah morfofonemiknya.
(a) Penambahan fonem /n/ pada morfem –a {-ê} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang diakhiri dengan vokal /i, e, ê, u, o/.
Misalnya:
{-a} + adi ‘adik’ → adina /adinê/ ‘adik itu’
{-a} + meme ‘ibu’→ memena /memenê/ ‘ibunya’
{-a} + bapa /bapê/ ‘ayah’ → bapana /bapanê/ ‘ayahnya’
(b) Penambahan fonem /n/ pada morfem {-an} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhi pada bentuk dasar yang berakhir dengan vokal /i, e, u/.
Misalnya:
{-an} + duri ‘belakang’ → durinan ‘belakangan’
{-an} + liu ‘banyak’ → liunan ‘kebanyakan’
(c) Penambahan fonem /n/ pada morfem {-ang} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang diakhiri dengan vokal /i, e, ê /.
Misalnya:
{-ang} + mai ‘sini’ → mainang ‘kesinikan’
{-ang} + gae ‘buat’ → gaenang ‘buatkan’
{-ang} + kaja ‘utara’ → kajanang ‘ke utarakan’
(d)Penambahan fonem /n/ pada morfem {-in} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang diakhiri dengan vokal /i, e, ê, u /.
Misalnya:
{-in} + isi ‘isi’ → isinin ‘diisi’
{-in} + gae ‘kerja’ → gaenin ‘kerjakan’
{-in} + bea ‘biaya’ → beanin ‘biayai’
{-in} + bucu ‘sudut’ → bucunin ‘dibentuk seperti sudut’
(e) Penambahan fonem /n/ pada morfem {-ing} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang diakhiri dengan vokal /i, ê, o/.
Misalnya:
{-ing} + jawi ‘luar’ → sajawaning ‘selain’
{-ing} + jero ‘dalam’ → sajeroning ‘dalam lingkungan, masa’
{-ing} + kala ‘waktu’ → kalaning ‘pada waktu’
(f) Penambahan fonem /n/ pada morfem {-e} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang berakhir dengan vokal /i, e, ê, o, u/.
Misalnya:
{-e} + sampi ‘sapi’ → sampine ‘sapi itu’
{-e} + sate ‘satai’ → satene ‘satai itu’
{-e} + orta ‘berita’ → ortane ‘berita itu’
{-e} + sabo ‘sawo’ → sabone ‘sawo itu’
{-e} + sau ‘jala bertangkai’ → saune ‘jala bertangkai itu’
(g) Penambahan fonem /n/ pada morfem {-ne} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang diakhiri dengan vokal /i, e, ê, o, u/.
Misalnya:
{-ne} + bibi ‘bibi’ → bibine ‘bibinya’
{-ne} + meme ‘ibu’ → memenne ‘ibunya’
{-ne} + bapa ‘ayah’ → bapanne ‘ayahnya’
Pemunculan fonem /n/ dalam lingkungan proses morfofonemik (sufiksasi) cukup luas seperti tersebut diatas. Diasmping itu juga, munculnya fonem [y, w] sebagai akibat pertemuan suatu morfem yang lain. Proses pemunculan atau penambahan seperti itu dapat diikhtisarkan sebagai berikut.
(a) Penambahan fonem [y] pada morfem {-ang} terjadi apabila morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang berakhir dengan vokal /i, ê/.
Misalnya:
{-ang} + sepi ‘sepi’ → sepiang /sepiyang/ ‘sepikan’
{-ang} + rasa ‘rasa’ → rasaang /rasayang/ ‘rasakan’
{-ang} + satua ‘cerita’ → satuang /satuwayang/ ‘ceritakan’
Pada contoh di atas, fonem [y] mendapat tekanan yang cukup kuat, berbeda dengan proses morfofonemik seperti berikut yang bentuk dasarnya berakhir dengan fonem /i, e/.
{-ang} + gisi ‘pegang’ → gisiang /gisiyang/ ‘pegang’
{-ang} + kene ‘begini’ → keneang /keneyang/ ‘beginikan’
{-ang} + gede ‘besar’ → gedeang /gedeyang/ ‘besarkan’
Pada bentuk {Pi-} juga dapat terjadi penambahan bunyi [y] apabila morfem itu dibubuhkan pada bentuk dasar yang berawal dengan fonem vokal /a, o, u/.
Misalnya:
{Pi-} + anak ‘anak’ → pianak /piyanak/ ‘anak’
{Pi-} + uning ‘tahu’ → piuning /piyuning/ ‘pemberitahuan’
(b) Pembubuhan bunyi [w] pada morfem {-an}, {-ang}, {-in} terjadi apabila morfem-morfem tersebut dibubuhkan pada bentuk dasar yang berakhir dengan fonem /u, o/.
Misalnya:
{-an} + adu ‘adu’ → aduang /aduwang/ ‘adukan’
{-an} + adu ‘adu’ → aduan /aduwan/ ‘aduan’
{-an} + keto ‘begitu’ → ketoang /ketowang/ ‘begitukan’
{-an} + milu ‘ikut’ → miluin /miluwin/ ‘ikuti’
{-an} + milu ‘ikut’ → miluang /miluwang/ ‘ikutkan’
Pertemuan suatu morfem dengan morferm lain dapat pula menimbulkan penambahan fonem yang tidak sesuai dengan bunyi-bunyi lingkungannya (disimilasi). Fonem-fonem yang muncul adalah /k, t, l/. Pemunculan fonem tersebut dapat dilihat seperti dalam proses morfofonemik berikut.
{Pa-} + aba ‘bawa’ → pakabain ‘bawain’
{Pa-} + eling ‘ingat’ → pakeling ‘peringatan’
{Pa-} + olih ‘...’ → pikolih ‘hasil’
{Pa-} + ajah ‘ajar’ → pelajahan ‘pelajaran’
{Pa-} + inget ‘ingat’ → patinget ‘peringati’
Proses morfofonemik seperti itu, yaitu dengan memunculkan fonem-fonem yang tidak sesuai dengan lingkungan fonologisnya, terdapat sebagai akibat pertemuan morfem afiks dengan morfem dasar tertentu, seperti tampak pada contoh di atas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar