1. Bahasa yang Digunakan Orang Bali
Bahasa Bali Kepara (modern, baru) merupaka bahasa Bali yang masih hidup dan terpakai dalam konteks komunikasi lisan dan tulis bagi masyarakat Bali sampai sekarang. Istilah bahasa Bali Kepara dalam bahasa Bali berarti ketah, lumbrah dan dalam bahasa Indonesia berarti umum. Kepara mengenal adanya tingkatan-tingkatan berbahasa yang disebut dengan “anggah-ungguhin basa” atau “sor-singgih basa”. Dalam anggah-ungguhing basa tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kelas yang sering disebut basa kasar, basa alus madia dan basa alus mider. Sedangkan untuk kata-kata yang digunakan di dalamnya dinamakan kruna mider (kata netral), kruna kasar, kruna alus madia, kruna alus sor, kruna alus mider dan kruna alus singgih.
Bahasa Bali kepara mengenal dua jenis ejaan yaitu ejaan dengan huruf Bali dan huruf latin. Penanaman bahasa Bali modern ini karena bahasa Bali kepara itu tetap berkembang pada zamanr modern seperi sekarang ini. Kehidupan dan perkembangan bahasa Bali modern yang juga merupakan sarana dan wahana kehidupan kebudayaan, agama, dan adat istiadat masyarakat etnis Bali yang berkelanjutan dari zaman ke zaman kerajaan, penjajahan, sampai zaman kemerdekaan termasuk zaman setelah kemerdekaan. Bahasa Bali dalam perkembangannya sampai saat ini banyak mendapat pengaruh dari bahasa Sanskerta, bahasa Jawa Kuna, bahasa Melayu, Bahasa Arab, bahasa Prancis, bahasa Inggris, bahasa Sunda dan bahasa Lainnya.
2. Mengapa Model Bahasa Seperi itu yang DIgunakan
Bahasa Bali sampai memiliki tingkatan-tingkatan berbicara tidak bisa lepas dari sejarah pembentukannya. Pada mulanya bahasa yang digunakan di Bali tidak memiliki tingkatan-tingkatan berbicara seperti itu. Kemudian datang orang-orang Majapahit yang kemudian mulai mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan di Bali. Terjadilah pergeseran kebudayaan besar-besaran pada saat itu. Wong Majapahit yang merupakan orang-orang yang berada dalam lingkungan kerajaan mulai mengelompokkan orang-orang Bali menjadi empat kasta atau wangsa yang sering disebut dengan caturwangsa. Adapun pembagian-pembagian golongan tersebut dikelompokkan kembali menjadi dua bagian yaitu triwangsa dan wangsa Jaba. Tri wangsa terdiri dari kaum Brahmana, Kesatria, dan Weisia. Catur wangsa yaitu pelapisan masyarakat secara tradisional di Bali sehingga terdapatlah bahasa Bali dalam ragam rendah pada golongan rendah pada golongan Jaba. Sebaliknya jika orang-orang golongan Jaba berbicara kepada golongan triwangsa diharapkan menggunakan bahasa Bali dengan ragam tinggi (alus).
Namun ada pula orang Bali yang tidak menerima pengaruh dari Majapahit tersebut. Mereka kemudian mengungsi ke daerah-daerah melarikan diri dan bermukim di daerah-daerah pegnungan yang ada di Bali dan mempertahankan bahasa asli mereka yang dikenal dengan orang Bali Aga. Jadi secara regional bahasa bali kemudian dibagi menjadi dua ragam besar yaitu dialek pegunungan (Bali Aga) dan dialek Bali Dataran yang masing-masing memiliki subdialek. Dialek Bali Aga yang terdapat di Kabupaten Karangasem meliputi daerah Tenganan, Bugbug, Asak, Timrah dan Seraya. Yang berada di sekitar Danu Batur (kabupaten Bangli) meliputi daerah Kedisan, Trunyan, Songan, Pinggan, Siakin, Kintamani, dan Sukawana. Yang terdapat di kabupaten Badung meliputi daerah Seminyak dan Tihingan. Daerah Tabanan meliputi daerah Belimbing, Bantiran, Sanda, Pandangan, Pujungan, Batungsel dan Wangaya. Daerah Kabupaten Buleleng meliputi Sembiran, Sepang, Tigawasa, Sidatapa, dan Cempaga.
3. Orang-Orang yang Mengguanakan Bahasa Bali
Penggunaan bahasa Bali ini sama seperti bahasa Indonesia, akan tetapi dalam bahasa Bali mempunyai tingkatan-tingkatan yang digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang dari wangsa yang bebeda. Tingkatan-tingkatan berbahasa tersebut dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Basa Alus, Basa Madia, dan basa Kasar
Tingkatan-tingkatan tersebut digunakan pada saat berbicara dengan orang-orang dari kalangan yang berbeda-beda.
1. Basa Alus
a. Bahasa Alus digunakan pada saat ngastawa Ida Sang Hyang Widhi, misalnya:
- “Ratu Sang Hyang Widhi, titian ngaturang bakti”.
- “Ratu Sang Hyang Paramawisesa, Sang sane ngawisesayang sarwa mauripe rauhing sane tan maurip maka sami, durus bancut jiwan titiange mangkin”.
b. Diucapkan pada saat berbicara dengan Guru Loka (Sulinggih, Nabe, Guru pangajian/guru di sekolah), misalnya:
- “Majeng ring Sang Rumaga Dosen, para guru lan Sang Rumaga Acarya seosan, titian nunas ring Sang inonek mangda ledang ngambil linggih genah sane sampun cumawis!”.
c. Digunakan pada saat mengikuti pemerintah, misalnya:
- Palungguh Bapak Gubernur, Sang Rumaga Manggala Praja Jagat Bali sane dahat baktinin titiang. Titiang nglungsur gung ampura, antuk kakirangan titiang sajeroning nyanggra lan nyambrama sapangrauh Bapak saha parampean sinamian”
d. Digunakan pada saat berkomunikasi dengan para sesepuh Pakraman, Dinas, orang-orang yang lebih tua dalam padubugan di masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat, misalnya:
- “mantuk ring Jero Bendesa Pakraman………… titiang angayu bagia, riantuk Jerone sampun sida tedun ring genah titiang puniki”’
e. Digunakan pada saat berbicara di pertemuan-pertemuan, misalnya:
- “Inggih para Semeton sinamian sane wangiang titiang, nawegang titiang matur sisip antuk kasep titiang rauh mangkin”
f. Digunakan untuk berbicara dengan orang yang beru di kenal.
2. Basa Madia
Basa Madia ini umumnya digunakan pada lingkungan keluarga. Pada saat berkumpul dengan keluarga seperti: berbicara kepada anak, suami, dan saudara-saudara lainnya. Contoh:
- “ Memene , dinane buin mani semengan, beli luas ka gunung, nyaan sediaang beli bekel saadane”
- “ Nah beli, tiang tuara ja bani tempal kapin pamunyin Beline”.
3. Basa Kasar
Basa Kasar merupakan kata yang umum digunakan oleh masyarakat Bali untuk menunjukkan sesuatu pada binatang. Demikian pula pada saat marah. Biasanya saat marah orang akan mengeluarkan kata-kata kasar saat berbicara ataupun saat berkelahi/adu mulut. Contoh:
- “ Apa buin ane tagih amah Iba, buka kene amah-amahan Ibane, Ibane tusing dadi baan Iba ngelekang!”
Tata karma berbicara tersebut merupakan ciri dalam beretika dan bersopan santun dalam kehidupan masyarakat. Tingkatan-tingkatan berbahasa ada pula yang disebut dengan “rasaning basa” yang digolongkan kembali menjadi tiga bagian yaitu:
a. Basa Alus Singgih
Basa Alus Singgih merupakan bahasa yang digunakan pada saat berbicara dengan orang yang patut dihormati. Misalnya:
- “ Sapemadegan Palunguh I Ratu nenten wenten purun sane nguragada”
- “ Titiang nglungsur lingga tangan I Ratu, ledangan picayang sane mangkin”.
b. Basa Alus Mider
Basa Alus Mider merupakan bahasa alus yang digunakan kepada orang-orang yang berada di bawah atau orang yang berada di atas atau bahasa yang memuat rasa meninggikan orang yang patut ditinggikan. Misalnya:
- “Titiang wawu rauh saking pasar!”.
- “ Ida yukti lali ring dewek titian?”
- “Bapak guru nibakang pamatut ring sang iwang”
c. Basa Alus Sor
Basa Alus Sor merupakan bahasa yang diucapkan digunakan di bawah, oleh orang yang merendahkan diri. Misalnya:
- “ Titiang madrebe pianak wantah kalih diri, ipun sampun masekolah ring SMA”
- “ Titiang ngantenang gunung punika saking dunungan titiang”
- “ Pawehwehin ipun reraman titiangwantah akidik”
4. Mengapa Terjadi Bahasa yang Berkelas-Kelas
Seperti yang telah diketahui bahwa bahasa Indonesia berasal dari berbagaii bahasa daerah. Diantara kelompok-kelompok bahasa daerah yang ada di Indonesia, ada empat bahasa daerah yang memiliki tingkatan-tingkatan bahasa yaitu bahasa Madura, bahasa Jawa, bahasa Sunda dan bahasa Bali. Diantara keempat daerah itu bahasa Bali yang memiliki tingkatan-tingkatan bahasa yang tingkat kerumitannya paling tinggi yang disebut anggah-ungguhing Basa Bali yang disebabkan berdasarkan pelapisan masyarakat yang tradisional maupun lapisan masyrakat yang modern.
Sehubungan dengan itu untuk mengetahui tingkat-tingkatan dalam berbicara yang akan dipilih haruslah diketahui latar belakang faktor social budaya orang Bali yang merupakan faktor terpenting dalam menentukan pilihan tersebut. Dan yang dimaksud dengan factor social ini tidak lain adalah struktur masyarakat Bali dewasa ini baik secara tradisional maupun secara modern. Struktur tradisional disini maksudnya adalah struktur masyarakat Bali berdasarkan pada system wangsa atau kasta yang dijadikan pedoman untuk mengukur tinggi rendah kedudukan seseorang menurut kelahiran atau keturunannya.
Akibat kemajuan zaman, munculnya elite-elite baru (masyarakat kelas atas) mengakibatkan terjadinya pergeseran dalam system pemakaian sor-singgih. Masyarakat kelas terutama yang memegang jabatan formal, ekonomi kelas atas selalu mendapat penghormatan dari masyarakat kelas bawah, seperti sopir, buruh walaupun mereka berasal dari wangsa Brahmana, tetapi untuk saat ini tidak berlaku lagi. Saat ini tidak lagi melihat kasta. Hal ini tercermin pula dalam interaksi verbal. Masyarkat kelas bawah berbicara kepada kelas atas berkecenderungan menggunakan bahasa Bali ragam tinggi.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa factor sosiallah yang pertama menentukan pimilihan pemakaian bahasa yang berkelas seperti itu. Apabila orang yang diajak berbicara itu sama status dan umurnya maka biasanya dipakai bentuk kasar, tetapi apabila orang yang diajak berbicara tidak sama statusnya maka dipilihlah bentuk hormat. Bentuk hormat ini juga bisa digunakan untuk orang asing atau orang yang belum dikenal.
5. Eksistensi penggunaan bahasa yang bertingkat pada era masa kini
Bahasa Bali sebagai bahasa ibu sebagian besar etnis Bali memiliku kedudukan dan fungsi yang amat penting. Interaksi verbal keseharian (terutama dalam keluarga) etnis Bali selalu didominasi oleh pemakaian bahasa Bali, lebih-lebih lagi dalam topik-topik pembicaraan yang bersifat tradisional, seperti membicarakan masalah adat, kebudayaan, dan agama (Hindu). Makin formal pembicaraan yang terjadi dalam keluarga, makin tinggi pula intensitas pemakaian bahasa Balinya. Dalam rapat keluarga, pembicaraan rencana ngaben dan menikah misalnya, masih dominan digunakan bahasa Bali. Sebaliknya, makin santai situasi pembicaraan, lebih-lebih lagi topic yang dibicarakan mengarah ke topic modern, intensitas penggunaan bahasa Bali akan menurun dan munculah pemakaian bahasa campuran.
Hal ini secara jelas dapat dirasakan, betapa masyarakat Bali kelihatan adanya penurunan hadap pemahaman dan kurangnya menghargai kekayaan makna dan nilai yang terkandung dalam budaya tradisi tersebut. Bahkan dalam penggunan ungkapan-ungkapan tradisional, betapa dalam dan tulusnya kandungan budaya sebagai jelmaan hati nurani, tidak tertangkap seutuhnya. Sikap demikian, tidak saja terjadi dalam masyarakat biasa tetapi, terjadi pula pada kaum elite sebagai pewaris budaya dan pemilik bahasa Bali. Selain itu, keberadaan masyarakat etnik Bali dengan bahasa Balinya dalam konteks berbangsa dan bernegara di daerah provinsi Bali sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melalui Undang-Undang Dasar 1945 telah ditetapkan bahwa bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa Negara dan sekaligus sebagai pengikat dan pemersatu bangsa Indonesia. Penetapan ini telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Akibatnya masyarakat etnik Bali dalam pergaulan hidupnya sehari-hari disamping menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar, juga menggunakan bahasa Indoesia.
Pada awalnya kedua bahasa ini mempunyai fungsi yang berbeda-beda dalam komunikasi masyarakat etnik bali (sebagai masyarakat yang diglosik). Namun dalam perkembangannya, sedikit demi sedikit diglosia itu mengalami degradasi akibat berbagai factor. Akibatnya, penggunaan bahasa Bali secara perlahan-lahan disusupi oleh unsure-unsur bahasa Indonesia. Kemudian sejumlah fungsi yang semula dijalankan oleh bahasa Bali, berubah dan dijalankan oleh bahasa Indonesia, seperti dalam kegiatan keluarga, interetnik, adat, agama, dan sebagainya (hal ini tentu tidak sejalan dengan rekomendasi Kongres Bahasa Bali V tahun 2001), yang merekomendasikan agar fungsi-fungsi bahasa Bali dipertahankan pada ranah-ranah pemakaiannya (untuk kepentingan dalam keluarga, interetnik, adat, agama, dsb) sebagaimana juda dimuat dalam rubric harian Bali Post tanggal 17 November 2001.
Karena pengaruh modern yang telah masuk ke dalam masyarakat Bali baik secara vertical dan horizontal, telah muncul kelas social baru yang asalnya tidak dari golongan triwangsa. Golongan baru ini merobah pemekaian kaidah berbahasa secara tradisional itu sehingga pada suatu ketika menimbulkan pertentangan di dalam masyarakat Bali. Oleh karena pengaruh modernisasi itu tidak dapat dibendung dan dihalang-halangi maka terjadilah perobahan tentang pemakaian tingkat-tingkatan berbicara terutama pada kalangan pergaulan.golongan modern.
Hal ini Nampak tidak dipakainya lagi kata serapan bentuk hormat ratu, atu lalu dialihkan dengan meminjam kata-kata dari bahasa Indonesia yang dianggap sebagai kata netral yang tidak membedakan tinggi rendah wangsa seseorang seperti kata Bapak atau Ibu.
DAFTAR PUSTAKA
Gautama, Wayan Budha. 2005. “Tata Sukerta Basa Bali”. Denpasar. CV.KAYUMASAGUNG.
Jendra, Wayan DKK. 1975. “Sebuah Deskripsi tentang Latar Belakang Sosial Budaya Bahasa Bali”. Denpasar. Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suasta, Ida Bagus Made. 2004. “Sejarah Kajian Bahasa Bali”. Denpasar. Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Udayana.
. 2005.” Imba Mabebaosan Nganggen Basa Bali”. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Tinggen, I Nengah. 1984. “Tata Basa Bali” . Singaraja: Percetakan Eka Cipta.
Bawa, I Wayan DKK. 1984. “Studi Sejarah Bahasa Bali”. Denpasar. Universitas Udayana.
Tinggen, I Nengah. 1986. “ Sor Singgih Basa Bali”. Singaraja: Percetakan Eka Cipta
. 2006.” Tata Basa Bali”. Denpasar. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.
. 1996.” Tata Bahasa Baku Bahasa Bali”. Denpasar. Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Putra Suarjana, I Nyoman. 2007. “ Sor-Singgih Basa Bali dalam Dharma Papadikan, Pidarta, Sambrama Wacana dan Dharma Wacana”. Denpasar.
0 komentar:
Posting Komentar